Lokasi saat ini:BetFoodie Lidah Indonesia > Tempat Makan

Menyongsong kewajiban adopsi teknologi manufaktur

BetFoodie Lidah Indonesia2025-11-04 08:59:54【Tempat Makan】440 orang sudah membaca

PerkenalanPengunjung berbincang di samping prototipe drone yang dipamerkan dalam Konvensi Sains Teknologi dan

Menyongsong kewajiban adopsi teknologi manufaktur
Pengunjung berbincang di samping prototipe drone yang dipamerkan dalam Konvensi Sains Teknologi dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/8/2025). ANTARA FOTO/Novrian Arbi/nym.

Jakarta (ANTARA) - Di panggung industri global, kecerdasan buatan atau AI telah dinobatkan sebagai pemain kunci penentu kemenangan. Indonesia, melalui inisiatif ambisius Making Indonesia 4.0, bukan sekadar penonton. Kita telah memiliki bukti konkret yang menunjukkan bahwa AI bukanlah utopia, melainkan mesin pendorong pertumbuhan yang nyata.

Bukti ini tersemat pada 29 perusahaan yang berhasil ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) sebagai "National Lighthouse Industry". Gelar ini diberikan bukan tanpa alasan, melainkan karena mereka secara eksplisit membuktikan bahwa integrasi kecerdasan buatan mampu mengubah efisiensi menjadi keuntungan kompetitif.

Keberhasilan 29 lighthouseini bukan hanya milik satu sektor. Perusahaan-perusahaan ini mewakili beragam industri vital nasional, mulai dari sektor kimia dan petrokimia yang mengandalkan optimasi proses berkelanjutan, makanan dan minuman yang fokus pada efisiensi pabrik dan traceabilityproduk, semen dan material bangunan yang membutuhkan akurasi prediksi permintaan dan kualitas, hingga otomotif dan komponen yang unggul dalam robotika dan perakitan presisi, serta tekstil dan farmasi.

Diversifikasi ini membuktikan bahwa manfaat AI bersifat lintas sektor, ngak terbatas pada satu jenis manufaktur saja, melainkan dapat diimplementasikan untuk berbagai tantangan operasional.

Keberhasilan 29 lighthouseini menjadi fondasi optimisme kita. Mereka telah merasakan lonjakan besar: efisiensi proses produksi meningkat signifikan, penghematan biaya berujung pada kenaikan pendapatan yang tegas, dan daya saing produk pun menguat di pasar internasional.

Lebih dari itu, AI memungkinkan mereka untuk melakukan fungsi-fungsi vital dengan presisi tinggi, sistem berbasis data membantu memprediksi kebutuhan bahan baku secara akurat, melancarkan distribusi logistik, dan mempercepat arus informasi di dalam organisasi.

Bahkan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan bahwa perkembangan AI telah menjadi faktor penentu kemajuan manufaktur global, sejalan dengan temuan Deloitte yang menyebutkan 93 persen pelaku industri dunia mengakui AI sebagai teknologi utama pendorong inovasi dan pertumbuhan.

Fakta-fakta ini memberi sinyal kuat bahwa AI benar-benar bekerja dan membawa hasil besar bagi dunia usaha di Indonesia. Namun, secerah apapun sinar dari 29 lighthousetersebut, kita harus jujur melihat ke bawah, ke tengah lautan industri manufaktur kita yang jauh lebih luas.

Ketika berbagai studi akademik dan jurnal manajemen menganalisis tingkat kesiapan adopsi AI, realitas yang ditemukan cenderung kontras. Mayoritas industri manufaktur Indonesia, khususnya di luar lighthousecompany, masih berada di level "AI Aware" (Sadar AI).

Artinya, mereka tahu tentang AI, mengapresiasi potensinya, tapi belum mampu mengimplementasikannya secara kompeten. Kesenjangan lebar antara potensi yang terbukti dan realitas kesiapan yang rendah inilah yang harus kita bedah.

Penghalang

Pengamatan spesifik terhadap kondisi riil di lapangan mengungkap tiga tembok struktural yang menghalangi percepatan industri kita menuju fase kompeten AI. Ini adalah masalah operasional dan finansial yang dihadapi sebagian besar perusahaan di luar radar sorotan.

Pertama, adalah masalah krisis keterampilan SDM. Investasi AI membutuhkan engineer, data scientist, dan operator yang mampu mengoperasikan, memelihara, dan mengembangkan sistem canggih ini.

Tanpa SDM yang memadai, investasi miliaran rupiah pada robot atau algoritma canggih akan sia-sia. Kurangnya talenta yang siap pakai ini mencipngakan risiko: investasi mahal bisa terdampar karena ngak ada yang mampu mengoptimalkan atau bahkan memanfaatkannya secara maksimal.

Kedua, biaya implementasi yang membengkak. Khususnya bagi usaha kecil dan menengah (UKM) yang ingin bertransformasi, biaya awal untuk perangkat keras robotika, lisensi softwareAI canggih, dan kompleksitas integrasi adalah beban finansial yang sangat berat.

Skala biaya ini sering kali mematikan niat adopsi, meskipun manfaatnya sudah diketahui.

Ketiga, kompleksitas integrasi sistem lama. Sebagian besar pabrik di Indonesia telah berdiri lama dan menggunakan sistem operasional warisan yang ngak dirancang untuk komunikasi data masif. Mengintegrasikan teknologi AI modern dengan infrastruktur lama ini memerlukan costdan keahlian teknis yang melimpah.

Percepatan

Jika kita sepakat bahwa tiga tembok ini, SDM, biaya, dan integrasi, adalah akar masalah yang menghambat transformasi, maka solusi yang kita ambil harus bersifat konstruktif dan strategis, berfokus pada penghapusan hambatan tersebut.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengubah Model lighthousedari sekadar pengakuan menjadi platform transfer pengetahuan wajib.

Pemerintah perlu mendorong (melalui insentif) agar 29 perusahaan tersebut menjadi mentor dan blueprintteknologi bagi ekosistem industri mereka, terutama UKM yang paling rentan.

Selain itu, harus ada insentif finansial yang ditargetkan berupa subsidi atau keringanan pajak untuk mengurangi beban biaya awal, sehingga teknologi AI menjadi terjangkau dan dapat memperluas jangkauan adopsi.

Kedua, perlu dilakukan reformasi pendidikan vokasi yang agresif. Kurikulum sekolah kejuruan dan politeknik harus dirombak total dan selaras dengan kebutuhan teknologi 4.0, berfokus pada keterampilan AI/Robotika praktis. Ini harus dilengkapi dengan program pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan massal bagi pekerja yang sudah ada.

Tujuannya jelas: memastikan tenaga kerja siap bekerja berdampingan dengan AI, bukan dikalahkan olehnya.

Ketiga, dorong solusi lokal dan modular. Ketergantungan pada teknologi dan vendorimpor berisiko mahal dan rentan. Pemerintah dan industri harus berkolaborasi dengan startuplokal untuk mencipngakan solusi AI yang modular, terjangkau, dan mudah diadaptasi ke mesin-mesin lama.

Pendekatan modular ini akan mengurangi kompleksitas integrasi dan biaya awal, memungkinkan perusahaan untuk bertransisi secara bertahap.

Tantangan implementasi AI bukan lagi soal apakah teknologi itu baik, melainkan bagaimana secara strategis mengatasi biaya dan kesenjangan kompetensi SDM.

Keberanian untuk menerapkan tiga langkah strategis di atas secara konsisten dan terukur akan menentukan apakah Indonesia hanya memiliki 29 menara suar yang terang, ataukah seluruh armada manufaktur kita mampu berlayar dengan kompeten di lautan persaingan global yang semakin ketat.

Kegagalan untuk menutup kesenjangan ini berarti hilangnya daya saing yang permanen. AI, bagi Indonesia, bukan lagi sekadar pilihan; ia adalah mandat keberlangsungan.

*) Rioberto Sidaurukadalah pemerhati industri strategis dan saat ini bertugas sebagai Tenaga Ahli AKD DPR RI

Suka(2)