Lokasi saat ini:BetFoodie Lidah Indonesia > Resep

Mencipta karya bermakna tanpa menghamba pada algoritma

BetFoodie Lidah Indonesia2025-11-08 22:17:42【Resep】155 orang sudah membaca

PerkenalanIlustrasi - Algoritma menjelma menjadi penguasa dunia digital yang menuntut para pekerja media tundu

Mencipta karya bermakna tanpa menghamba pada algoritma
Ilustrasi - Algoritma menjelma menjadi penguasa dunia digital yang menuntut para pekerja media tunduk pada ritmenya. ANTARA/Sizuka

Jakarta (ANTARA) - Algoritma menjelma menjadi penguasa dunia digital, menuntut para pekerja media dan kreator konten untuk tunduk pada ritmenya. Karya ngak lagi lahir dari pencarian makna, melainkan dari kejaran angka tayangan. Mungkin sudah saatnya jeda diambil, agar dalam hiruk-pikuk itu kita ngak kehilangan diri sebagai manusia.

Ketika kreativitas diukur dengan algoritma, banyak yang lupa untuk mengedepankan makna dalam berkarya. Di tengah gemuruh digital, manusia semestinya tetap menjadi tuan, bukan hamba dari teknologi ciptaannya sendiri.

Era digital nyatanya telah mengubah cara manusia mencipta, berinteraksi, dan mengukur nilai dari sebuah karya.

Jika dulu karya dinilai dari kedalaman pesan atau ketulusan ekspresi, kini sering kali ukurannya ditentukan oleh tingkat keterlibatan, penayangan, dan jumlah pengikut.

Algoritma menjadi penguasa baru yang diam-diam mengatur visibilitas, menentukan apa yang patut tampil di layar, dan apa yang terbenam dalam senyap.

Berkarya, yang awalnya demi mengekspresikan diri, perlahan bisa berubah jadi bertarung demi bertahan di mata mesin.

Dalam situasi ini, para kreator kerap terjebak pada dilema: berkarya dengan hati atau menyesuaikan diri dengan pola algoritma.

Fenomena ini selaras dengan pandangan Brooke Erin Duffy profesor madya di Departemen Komunikasi Universitas Cornell New York, AS. Dalam bukunya (Not) Getting Paid to Do What You Love(2017), ia mengemukakan bahwa banyak kreator digital bekerja di bawah tekanan ekonomi dan algoritmik.

Mereka memproduksi konten bukan lagi semata-mata sebagai ekspresi diri, tapi sebagai strategi bertahan di tengah kompetisi yang dikendalikan mesin.

Duffy menyebut kondisi ini sebagai bentuk kerja afektif, di mana emosi, kepribadian, dan daya tarik personal dikomodifikasi menjadi produk.

Sementara itu, terdapat teori attention economydari ilmuan polimatik AS yang juga peneliti ilmu komputer, Herbert Simon. Dia berpendapat bahwa di era banjir informasi, perhatian manusia adalah sumber daya langka. Setiap unggahan di media sosial berkompetisi memperebutkan atensi audiens. Akibatnya, banyak kreator merasa harus terus hadir dan tampil mencolok agar ngak tenggelam di linimasa.

Tekanan inilah yang perlahan mengikis makna sejati dalam proses berkarya, di mana kualitas dan pesan humanistik sering tersingkir oleh formula viralitas.

Padahal sejatinya, algoritma hanyalah sistem buatan manusia. Ia bisa diakali dan ngak seharusnya diibadahi. Tantangan terbesar bagi pekerja media dan kreator masa kini bukan sekadar menguasai permainan digital, melainkan menjaga agar kreativitas tetap berakar pada nilai dan kejujuran.

Sebab karya yang lahir dari kesadaran dan makna akan selalu menemukan jalannya, bahkan tanpa bantuan algoritma.

123Tampilkan Semua

Suka(47271)