Lokasi saat ini:BetFoodie Lidah Indonesia > Kabar Kuliner

Menggeser pusat gravitasi ekonomi Indonesia

BetFoodie Lidah Indonesia2025-11-04 08:46:12【Kabar Kuliner】042 orang sudah membaca

PerkenalanIlustrasi - Pelaku Usaha Mikro Kecil menengah (UMKM). ANTARA FOTO/ARI BOWO SUCIPTO.Jakarta (ANTARA)

Menggeser pusat gravitasi ekonomi Indonesia
Ilustrasi - Pelaku Usaha Mikro Kecil menengah (UMKM). ANTARA FOTO/ARI BOWO SUCIPTO.

Jakarta (ANTARA) - Dari desa Bima di Sumbawa, Bu Zulfa (47) dan kelompok perempuannya bercerita bahwa menenun bukan sekadar merajut benang, melainkan menenun harapan. Dari kain dan motif lahir warisan budaya, identitas dan penghidupan yang menopang keluarga.

Produk mereka merupakan incaran wisatawan dan layak menembus pasar ekspor. Namun karya berkualitas global itu justru berhenti di pasar lokal. Bukan karena mutunya kalah, tapi karena sistem perdagangan yang belum mendukung pelaku kecil untuk melangkah lebih jauh.

Kisah Bu Zulfa adalah cermin jutaan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di luar Pulau Jawa. Dari Sulawesi hingga Sumatera, mereka menghadapi realitas serupa: potensi besar yang terkunci oleh struktur ekonomi yang timpang. Padahal di balik keterbatasan itu tersembunyi kekuatan ekonomi baru, yang jika dibuka, dapat menjadi motor pertumbuhan nasional baru.

Indonesia dengan puluhan juta UMKM yang menyumbang lebih dari 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dapat menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja. Namun aktivitas ekonomi UMKM masih sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Sebaliknya, pelaku usaha di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua menghadapi tantangan geografis, logistik terbatas, serta kesenjangan akses pasar.

Biaya dan kompleksitas logistik saat ini diperkirakan mencapai sekitar 14,3 persen dari PDB, jauh di atas Thailand yang tercatat sekitar 8 persen dan China yang hanya 6 persen. Infrastruktur pelabuhan, pergudangan dan pusat ekspor masih berpusat di Jawa, membuat produk luar Jawa kalah bersaing dalam harga dan kecepatan pengiriman meski kualitasnya setara.

Akibatnya kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional stagnan di kisaran 15 hingga 16 persen selama lima tahun terakhir, jauh di bawah Thailand yang mencapai hampir 30 persen.

Masalahnya bukan kemampuan, melainkan ekosistem yang belum berpihak. Banyak pelaku usaha daerah telah menghasilkan produk berkualitas, tapi terjebak dalam lingkaran distribusi yang panjang, akses pembiayaan terbatas, dan pasar yang ngak terhubung.

Infrastruktur, pasar, dan risiko

Pertama, infrastruktur ekspor terpadu masih minim. Rantai distribusi panjang membuat biaya tinggi dan waktu pengiriman ngak kompetitif. Negara-negara pesaing telah memiliki fulfillment centerekspor di berbagai wilayah, memungkinkan pelaku usaha daerah mengakses pasar global tanpa bergantung pada pelabuhan utama.

Kedua, pasar dan kualitas kualitas belum bertemu secara optimal. Banyak UMKM memproduksi barang dengan mutu yang baik, namun belum memahami preferensi pasar luar negeri, mulai dari desain, kemasan, hingga storytellingproduk.

Untuk memenangkan kepercayaan pembeli global, yang dibutuhkan bukan sekadar sertifikat, melainkan konsisten mutu keandalan pengiriman.

Ketiga, pembiayaan masih terhambat oleh risiko. Akses dana kini bukan sekadar soal bunga atau agunan. Tetapi kemampuan untuk membuktikan kapasitas produksi dan permintaan yang stabil. Integrasi data rantai pasok dan kontrak pembelian yang kredibel menjadi kunci agar lembaga keuangan berani menyalurkan pembiayaan jangka menengah bagi pelaku usaha daerah.

12Tampilkan Semua

Suka(54)