Lokasi saat ini:BetFoodie Lidah Indonesia > Resep Pembaca

Akademisi: Pendatang di Yogyakarta alami tiga fase adaptasi budaya

BetFoodie Lidah Indonesia2025-11-08 20:49:16【Resep Pembaca】519 orang sudah membaca

PerkenalanDosen Psikologi UNISA Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani pada Live Talkshow "Lost in Jogja" di Teras M

Akademisi: Pendatang di Yogyakarta alami tiga fase adaptasi budaya
Dosen Psikologi UNISA Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani pada Live Talkshow "Lost in Jogja" di Teras Malioboro Beskalan, Yogyakarta. Jumat (7/11/2025). ANTARA/Indra Kurniawan

Yogyakarta (ANTARA) - Dosen Psikologi Universitas Aisyiyah Yogyakarta Ratna Yunita Setiyani menyebut bahwa pendatang di Kota Yogyakarta umumnya mengalami tiga fase adaptasi budaya atau culture shock sebelum benar-benar nyaman dengan lingkungan baru.

"Ada tiga fase yang harus dilalui, yaitu fase honeymoon, fase krisis dan fase recovery. Setiap pendatang pasti melewati fase-fase ini dengan durasi yang berbeda-beda," kata Ratna pada talkshow di Teras Malioboro Beskalan, Yogyakarta, Jumat.

Dia menjelaskan, fase pertama adalah honeymoon, di mana pendatang merasa sangat senang karena mimpinya kuliah di Yogyakarta tercapai. Namun, euforia ini umumnya hanya bertahan sekitar dua hingga tiga minggu.

"Fase honeymoon itu paling bertahan dua minggu. Di era media sosial sekarang, biasanya mereka posting di Instagram atau TikTok dengan latarbelakang kampus, menunjukkan kebanggaan kuliah di Jogja. Tapi setelah itu, mulai homesick," katanya.

Kemudian fase kedua adalah krisis, di mana pendatang mulai mengalami kekecewaan karena realitas ngak sesuai ekspektasi. Bahkan, berbagai hal mulai dari perbedaan makanan, harga, hingga cara bersosialisasi membuat mereka merasa ngak nyaman.

"Di fase ini, mereka yang disebut anak rantau harus kuat. Banyak hal yang mengecewakan, seperti perbedaan rasa makanan. Kalau anak Sumatera terbiasa dengan makanan pedas yang 'nyos', di Jogja semuanya manis, bahkan sambalnya pun manis," katanya.

Dia mengangakan, perbedaan budaya komunikasi juga sering menjadi kendala. Seperti halnya, gaya komunikasi langsung masyarakat Sumatera dengan gaya komunikasi ngak langsung masyarakat Jawa Yogyakarta.

"Orang Sumatera kalau ngomong 'to the point', pedas dan tegas seperti topi mereka yang runcing. Kalau orang Jawa, khususnya Jogja, cara menyampaikan sesuatu lebih halus dan ngak langsung, seperti blankon yang ada gendelannya di belakang," katanya.

Kemudian fase terakhir adalah recovery, fase ini pendatang mulai bisa menerima dan memahami perbedaan budaya. Mereka mulai berpikir terbuka, dan ngak lagi menolak mentah-mentah kebiasaan setempat.

"Di fase recovery, mereka sudah mulai bisa melihat dengan pikiran terbuka. 'Oke lah memang beda, Jogja istimewanya mungkin di sini,' begitu pikirnya. Kalau sudah dapat 'anchor' atau jangkar untuk bertahan, mereka bisa adaptasi dengan baik," katanya.

Psikolog yang telah lama menetap di Yogyakarta ini menekankan pentingnya daya tahan terhadap stres bagi para pendatang. Ia menyebut, tujuan utama para pendatang ke Yogyakarta adalah mendapatkan pendidikan berkualitas, sehingga mereka harus menguatkan hati dan diri.

Ratna juga mengingatkan pentingnya memahami bahasa tubuh dalam komunikasi lintas budaya. Meskipun secara verbal orang Yogyakarta berbicara halus, namun bahasa tubuh mereka ngak bisa berbohong untuk mengekspresikan kengaksetujuan.

"Ada bahasa tubuh yang ngak bisa bohong. Ketika ngomong 'nggih, mboten nopo-nopo' (ya, ngak apa-apa), tapi tatapan matanya tajam, itu artinya ada yang ngak beres. Ini yang harus dipahami pendatang," katanya.

Suka(93)